Menyajikan tulisan TANJUNGDINAR--sentral pengembangan agrowisata salak wedi, bagian dari kawasan agropolitan di Kecamatan Kapas Kabupaten Bojonegoro tanpa menyertakan perkembangan mutakhir di Desa Kalianyar serasa menyajikan hidangan kepada tamu dengan cara membelakangi. Tentu, itu tidak sopan.
Bagaimana tidak, 'wong' Kalianyar itu berada di pintu masuk kawasan dari akses utama jalan nasional Bojonegoro-Surabaya.
Kalau kita melakukan perjalanan dari Surabaya, misalnya. Sebelum masuk kota Bojonegoro kita akan bertemu SPBU/ POM Benain. Orang Bojonegoro dan sekitarnya menyebut itu dengan POM Kalianyar. Dan itu tidak salah.
Berseberangan dengan SPBU itu, dengan dihiasi bunga bougenville, bunga ikon Bojonegoro, berdiri tegak penunjuk arah memandu pelancong jika ingin menikmati nuansa desa rasa kota di kawasan TANJUNGDINAR dengan salak wedinya.
Kenapa salak wedi, bukan salak kalianyar ? Penyebutan wedi pada 'frasa' salak wedi sebenarnya lebih menunjukkan jenis (varietas ?). Sehingga, meskipun itu tertanam di Desa Kalianyar, Desa Tanjungharjo dan desa lain dalam kawasan agropolitan tetap namanya adalah salak wedi. Hanya, dalam kerangka pengembangan akhir akhir ini mulai diujicoba pembibitan salak jenis lain, misalnya salak penjalin oleh masyarakat dengan di motori oleh pegiat yang menamakan dirinya KOMUNITAS PEDULI SALAK WEDI.
Kembali ke Desa Kalianyar. Tidak ada hikayat yang jelas diakui, kenapa desa itu dinamakan Kalianyar (Sungai Baru, ind).
Kalau boleh sedikit nakal, terus Kalilawas (sungailama, ind) terletak di mana ? Ha...ha...ha...Meskipun tidak menjadi patokan kesejarahan, tetapi ada sedikit fakta yang memberikan gambaran masa lalu Kalianyar. Bahwa Desa Kalianyar terdiri atas 2 dusun, yakni Kalianyar dan Jeblogan. Dalam kosakata bahasa jawa, jeblogan berarti kubangan besar lumpur yang biasanya digunakan kerbau untuk berendam setelah dipekerjakan di sawah. Apakah dengan pendekatan teks ini kemudian dapat disimpulkan dahulunya Desa Kalianyar merupakan kawasan sungai, perengan dan sawah yang basah, becek dan berlumpur ? Wallohu a'lam bis showab.
Menurut penuturan sesepuh di Desa Kalianyar, dahulunya Jeblogan adalah sebuah desa yang berdiri sendiri. Penyatuan kedua desa menjadi satu, Desa Kalianyar, terjadi pada sekitar akhir era 1800-an. Pada saat itu terjadi kekosongan lurah jeblogan sepeninggal Kartosebo, lurah saat itu yang meninggal di tanah suci untuk melaksanakan ibadah haji. Era setelah itulah, baru Desa Kalianyar melalui dokumentasi yang ada, setidaknya melalui foto Lurah/Kepala Desa Kalianyar saat itu, yakni (alm) Kasim.
Boleh jadi Kalianyar dahulu adalah sungai, sawah dan kubangan kerbau. Atau tempat yang lebih jorok dan kumuh sekalipun. Tetapi, Kalianyar masa kini adalah desa dengan "roso kutho".
Mengikuti penunjuk arah di seberang SPBU Kalianyar, mata akan dimanja dengan Gapura Agropolitan yang berseberang jalan dengan Pasar Desa Kalianyar. Setelah itu, anda akan dimanja dengan romansa musik perkembangan ekonomi khas pusat pengembangan agropolitan. Kedai bakso yang berada di seberang LEMCADIKA akan menyapa anda. Juga romansa hamparan sawah menghijau yang berseberangan dengan komplek perumahan "...regency" menyuguhkan irama kehidupan yang menggambarkan perkembangan desa ini. Romansa perekonomian juga akan dapat dirasakan, dimana pertanian tradisional akan berkolaborasi dengan industri kreatif yang sedang tumbuh dan mekar.
Romansa musik kehidupan ini seakan dimainkan oleh sosok Dariasih, yang memainkan alat musik industri makanan kecil "YOGA PUTRA" yang menghasilkan produk makanan kecil dengan daya jangkau sampai wilayah Cepu, Kabupaten Blora. Dariasih yang memulai usahanya pada 2011, telah dapat mempekerjakan 8 orang tetangganya dengan berbagai produknya. Dariasih telah mampu menyedot bahan baku, bahkan, dari wilayah Kecamatan Ngasem untuk salah satu jenis produknya.
Pemain lain dari romansa itu adalah sosok Erriyul Mufidah. Perempuan pecinta kebersihan dan keindahan sehingga tampil ke depan memimpin bank sampah dan mengolahnya dengan bendera 'And Dree Collection'. Dengan And Dree Collection, sampah diolah sehingga menjadi berkah.
Sosok lain yang layak disebut adalah K.Sholeh yang tanpa lelah memfungsikan pekarangannya untuk pembudidayaan jamur tiram. Juga sosok Naim yang menggeluti budidaya jamur tiram.
Tentu tidak mungkin menyebut sosok-sosok pemain romansa kehidupan di Desa Kalianyar ini. Tapi, tentu pemain pemain musik kehidupan itu hanya akan mampu menyuguhkan orkestrasi jika dipandu oleh dirigen yang menjiwai irama musik yang dimainkan. Dan sang dirigen itu adalah sosok Ibnu Ismail, Kepala Desa Kalianyar masa kini yang memoles desa tanah kelahirannya dengan semangat baru. Ya, semangat baru untuk berakselerasi dengan komitmen Pemerintah Kabupaten untuk menjadikan kawasan agropolitan (KDKT) sebagai titik ungkit perrumbuhan ekonomi.
Pekerjaan Rumah ke depan, tentu masih menumpuk. Pasar Desa Kalianyar yang belum diubah menjadi pusat pemasaran produk agropolitan, pelatihan batik Program P2SDA juga masih membutuhkan pendampingan lebih serius dan masih banyak lagi. Tapi kita yakin, untuk mewujudkan itu Ibnu Ismail-atau Kalianyar-tidak akan dibiarkan sendiri. Cukup banyak pemangku kepentingan yang akan bergandeng tangan. Boleh jadi sosok Ibnu Ismail, Kepala Desa, hanya akan pancangkan tonggak berupa renovasi balai desa sehingga papan namanya ditandai replika salak pada kanan kiri atasnya. Tetapi BAPPEDA memiliki Rencana Aksi Agropolitan Kecamatan Kapas Tahun 2015-2019. Dinas Pariwisata dengan Pendamping Agropolitan. Juga ada teman yang tergabung dalam BKAD Agro. Maka, Kalianyar tidak sendiri dengan hanya berteman semangat barunya. Bravo Kalianyar. New River, New Spirit ( Kalianyar Semangat Baru, nde).