Haruskah kita menjadi manusia modern ? Jawabnya ya !
Apakah ukuran modernitas kita ?
Jawabnya : ???
Itulah 2 pertanyaan yang gampang susah di jawab oleh kita yang terlahir di Indonesia.
Sulitnya jawaban paralel atas 2 pertanyaan itu agaknya disebabkan kita sudah kadung mematok jargon baku, yakni modernitas a la Indonesia di mana untuk mewujudkannya dalam tataran praktek harus mengandung 2 konsep sekaligus. Norma luhur warisan pendiri bangsa yang harus tetap terjaga, pada satu sisi dan semangat efisiensi dan efektifitas dalam ukuran ukuran statistikal yang di dasari prinsip ekonomi smithian-keynesian pada sisi lain. Karena filosofi dasarnya bersifat diametrik, maka bukan hal mudah membangun konsep penjelas tentang modernitas a la Indonesia.
Pada 1972 E.F. Schumacher, dalam "SMALL IS BEAUTIFUL", memberikan penjelasan bahwa ada sebuah kearifan yang hilang ketika ekonomi keynesian dijadikan dasar pembangunan ekonomi modern. Hilangnya kearifan itu dilatarbelakangi 2 hal pokok. Pertama, terjadi eksploitasi sumberdaya alam secara berlebihan akibat mengutamakan produksi berbasis teknologi secara cepat. Kedua, Adanya sistem pendidikan yang tidak lagi bersinggungan dengan unsur metafisika. Dari latarbelakang pertama-paling tidak- memunculkan pertanyaan oratoris : idealnya, alam dan sumberdaya alam harusnya dipandang sebagai faktor produksi atau faktor modal ?
Lantas, apa urusannya teori itu dengan Klampok ? Toh, Klampok hanyalah sebuah desa yang sangat kecil di wilayah Kecamatan Kapas. Bahkan saking kecilnya, tidak gampang bagi orang Kapas ketika harus menunjukkan kepada orang luar wilayah yang bertanya lokasi desa itu. Saking kecilnya pula, sehingha Klampok tidak memiliki bangunan gedung SD Negeri. Ya, karena saking kecilnya.
Betapa mudah bagi Kepala Desa Klampok untuk membina 879 jiwa/270 Kepala Keluarga. Betapa sederhana pengambilan alternatif kebijakan pembangunannya.
Tentu tidak bagi ACHMAD NURUL HUDA, sang Kepala Desa. Bagi beliau tingkat kesulitan membangun desa dan melayani serta memberdayakan masyarakat tidak berbanding lurus dengan ukuran luas wilayah. Tanpa menafikan capaian Kepala Desa sebelumnya, Klampok di era sekarang sedang menapaki modernitas tanpa mengesampingkan sesuatu yang bernuansa metafisika. Mengambil istilah E.F.Schumacer, tidak ada ekspltasi sumberdaya alam, tidak ada nilai metafisis yang dicerabut dari ceruk nurani masyarakat dan-justru-mengarahkan pencapaian peningkatan pendapatan masyarakat melalui budidaya jamur tiram dengan menggunakan alat teknologi. Dan tentu tidak eksploitatif.
Sawah, sebagai sumberdaya alam, tidak dipandang sebagai alat produksi oleh masyarakat Desa Klampok. Hamparan lahan yang menghijau pada musim tanam secara akrab diperlakukan berdasarkan prinsip menjaga ekosistem sehingga penggunaan pestisida dikurangi dari tahun ke tahun. Secara bersamaan dipergunakan model pengendalian OPT dan hewan pengganggu secara alamiah, yakni pendirian rubuha (rumah burung hantu) dan mulai penanaman tanaman refugia.
Dalam sisi metafisis-meminjam istilah Schumacer- warisan leluhur yang berupa sedekah bumi telah sedemikian rupa disajikan dalam esensi dan format yang tidak berseberangan dengan keyakinan asasi masyarakat. Karena dengan keyakinan asasi itulah dinamika manusia bergerak dan pada keyakinan asasi itu pula seluruh gerak dan dampak akan diukur.
Berdasar itu, ketika harus bersentuhan dengan modernitas dan manusia harus ikut arus tanpa ada pilihan lain, Klampok mengambil pilihan modernisasi budidaya jamur tiram. 1 unit steamer (pemanas) bekerja untuk menghasilkan baglog (media penumbuh spora) 1000 paket per hari. Paket paket baglog itu yang akan di budidayakan oleh kelompok petani jamur tiram. Maka dari sektor itu, terjadi tambahan pendapatan Rp.500.000/bulan/kepala keluarga pembudidaya. Lumayan, kan ?
Sesungguhnya sudah banyak produk makanan olahan yang berbahan dasar jamur tiram Klampok. Tapi hal itu belum mungkin dilakukan karena untuk memenuhi permintaan pasar terhadap jamur tiram Klampok di Pasar Kota Bojonegoro dan sekitarnya masih jauh dari kata cukup. Kenyataan ini semoga membangkitkan masyarakat sekitar untuk ikut terjun di sektor ini.
Selain budidaya jamur tiram, ada semangat kuat pada masyarakat Klampok untuk meraih kembali kisah sukses nenek moyangnya, yaitu menjadikan Klampok sebagai penghasil sayur mayur. Untuk tekad ini dukungan cukup besar diberikan oleh Dinas Pertanian Kabupaten Bojonegoro. Klop dengan itu, PPL Pertanian adalah Putra Desa Klampok, Suyanto.
Dan dalam perkembangan terakhir, Klampok sedang berupaya mewujudkan dirinya sebagai desa pembudidaya dan pengembang tanaman kelor.
Adakah telah terjadi eksploitasi sumberdaya alam ? Tentu tidak. Adakah kebanyakan masyarakat Klampok membaca "SMALL IS BEAUTIFUL" nya E.F.Schumacer ? Kita yakini tidak. Yang ada dan mengalir adalah semangat menjaga tradisi dan mengambil inovasi di tengah modernitas. Maju teruslah Klampok. Ada capaian yang perlu terus di tingkatkan. Ada thropy Bupati atas raihan jawara Kabupaten dalam ajang LCCK KIM 2015. Ada predikat desa IT, bersama desa lain, sebelumnya. Ada Web Desa yang perlu dioptimalkan. Dan semua itu adalah inovasi di tengah keharusan memodernisir diri. Tentu ada juga agenda yang belum tergarap. Sebagian yang lain tergarap tapi belum terselesaikan. Teruslah bergerak sampai tercapai KLAMPOK BERIMAN.


By Admin
Dibuat tanggal 03-05-2017
706 Dilihat